NAMA : DWIKIE BAYU
RAMADHAN
KELAS : 1 EB 11
NPM :
22210218
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan
hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat
laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya
dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan
Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun
1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat
bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah
tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan
terkaya di dunia.
Pada kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global kemiskinan Negara-negara
di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang nota-benenya ada di
belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik mengenai kemiskinan
di Negara Indonesia. Adapun yang dimaksudkan Negara berkembang adalah Negara
yang memiliki standar pendapatan rendah dengan infrastruktur yang relatif
terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia dengan norma secara
global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian Negara-negara
Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan Negara-negara pinggiran benua
Asia.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan
alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam
(SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten
dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga
mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut.
Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang
mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan.
II
ISI
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh
negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada
masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya
belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan
terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran. Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi
dilema mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya.
Definisi
Dalam kamus ilmiah populer, kata “Miskin”
mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau
bokek. Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara
Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah
konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat
dari interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang
diperoleh.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah
keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi
dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan
komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali
Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan
lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan.
Senada dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh
ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan
masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka
berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini
lebih dikenal dengan kemiskinan struktural.
Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan
yang mulai bergeser misal pada awal tahun 1990-an definisi kemiskinan tidak
hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di
bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an telah
muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan,
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial
ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi
juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris
mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal
dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan
upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya
tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya,
seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga
dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi
tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi
daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan.
Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain.
Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari
jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga
pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural.
Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada
di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum:
pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di
bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat
dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang
membantunya.
Indikator-indikator
Kemiskinan
Untuk menuju solusi kemiskinan penting
bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-indikator kemiskinan
tersebut.
Adapun indikator-indikator kemiskinan
sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan
dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya
(kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun
massa.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya
alam.
6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar,
wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan
terpencil).
Penyebab Kemiskinan
Di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan
menurut pendapat Karimah Kuraiyyim. Yang antara lain adalah:
Merosotnya
standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan
per-kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem.
Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan
naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan
per-kapita akan turun beriringan.
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi
kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
·
Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
·
Politik ekonomi yang tidak sehat.
·
Faktor-faktor luar neger, diantaranya:
1. Rusaknya syarat-syarat
perdagangan
2. Beban hutang
3. Kurangnya bantuan luar
negeri, dan
4. Perang
·
Menurunnya etos kerja dan produktivitas
masyarakat. Terlihat jelas faktor ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap
kemiskinan. Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas
masyarakat harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan
kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan maksimal
·
Biaya kehidupan yang tinggi. Melonjak tingginya biaya
kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan
pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis
dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga
kerja ahli, lemahnya peranan wanita di depan publik dan banyaknya pengangguran.
·
Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang
merata. Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan
keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber
pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak
negara.
Perkembangan Tingkat
Kemiskinan di Indonesia
Bagaimana perkembangan tingkat kemiskinan
di Indonesia? Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan
laporan tahunan Pembangunan manusia (Human Development Report) 2006 yang
bertajuk Beyord scarcity; power, poverty dan the global water. Laporan ini
menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu Indikator
kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama
satu dekade ini Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat
ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk
miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan
menurun pada salah satu periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk
miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi
47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002,
penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi
38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005)
yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan
presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006
penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%)
berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).
Adapun laporan terakhir, Badan Pusat
Statistika ( BPS ) yang telah melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) pada bulan Maret 2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah
39,1 juta orang dengan kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau
garis kemiskinan ketika pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
Penjelasan
Teknis dan Sumber Data
Sebagai tinjauan kevalidan dan pemahaman
data di atas secara lugas, dipaparkan penjelasan data dan sumber data yang
diambil dari Berita Resmi Statistika No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach).
Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Head Count Indeks
(HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
b. Metode yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri
dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan
Bukan Makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah
untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pendapatan per-kapita di bawah garis kemiskinan.
c. Sumber utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah
data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret
2006. Sebagai informasi tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan
Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari Pengeluaran
masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
Tantangan
Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan di Indonesia sarat
sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat Sumber Daya Manusia (SDM).
dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya
akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks
Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692. yang
masih menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara
negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada
tahun yang sama sebesar 0,178. masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand.
Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding
negara ASEAN lainnya.
Tantangan lainnya adalah kesenjangan
antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi
dibanding perkotaan. Data Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004
menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin
yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Selain itu juga tantangan yang
sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang
ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak
kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan
gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan
Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).
Tantangan selanjutnya adalah otonomi
daerah. di mana hal ini mempunyai peran yang sangat signifikan untuk
mengentaskan atau menjerumuskan masyarakat dari kemiskinan. Sebab ketika
meningkatnya peran keikutsertaan pemerintah daerah dalam penanggulangan
kemiskinan. maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang relatif singkat kita
akan bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan pada skala nasional terutama
dalam mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat. Akan tetapi ketika
pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini
sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta
bisa menimbulkan bahaya laten dalam skala Nasional.
Kebijakan dan
Program Penuntasan Kemiskinan
Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia
telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas
utama kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan
bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan
tahunan.
Sebagai wujud gerakan bersama dalam
mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi
Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses
partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia.
Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite
penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di
daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.
Adapun langkah jangka
pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi kesenjangan
antar daerah dengan;
·
penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama
daerah-daerah langka sumber air bersih.
·
pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal.
·
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan
rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan
dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan
investasi dan revitalisasi industri.
c) Khusus untuk pemenuhan
sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain (i) pendidikan
gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid
yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin
di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Di bawah ini merupakan contoh dari upaya
mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Contoh dari upaya kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di
Bandung dengan diadakannya Bandung
Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 – 25 Februari 1998. Bandung
Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya
menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang yang berada di bawah
garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada
wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama,
kepercayaan, ataupun haluan politik.
Oleh karena sumbangan dari para dermawan
tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan permasalahan kelaparan dan
kemiskinan yang dihadapi, maka Bandung Peduli melakukan targetting dengan
sasaran bahwa orang yang dibantu tinggal di Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan
mereka yang tergolong fakir. Golongan fakir yang dimaksud adalah orang yang
miskin sekali dan paling miskin bila diukur dengan “Ekuivalen Nilai Tukar
Beras”.
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan
masalah yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masalah dasar pengentasan kemiskinan
bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu
hal yang alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak.
Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah,
melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas
dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja
sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini
masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan
akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
Saran
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman
global diperlukan usaha-usaha yang lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif.
Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi
zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam
pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah
standar global.
REFERENSI
www.pu.go.id/publik/p2kp/des/memahami99.html
www.geocities.com/rainforest/canopy/8087/miskin.html
NAMA : DWIKIE BAYU
RAMADHAN
KELAS : 1 EB 11
NPM :
22210218
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan
hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat
laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya
dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan
Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun
1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat
bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah
tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan
terkaya di dunia.
Pada kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global kemiskinan Negara-negara
di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang nota-benenya ada di
belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik mengenai kemiskinan
di Negara Indonesia. Adapun yang dimaksudkan Negara berkembang adalah Negara
yang memiliki standar pendapatan rendah dengan infrastruktur yang relatif
terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia dengan norma secara
global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian Negara-negara
Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan Negara-negara pinggiran benua
Asia.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan
alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam
(SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten
dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga
mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut.
Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang
mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan.
II
ISI
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh
negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada
masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya
belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan
terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran. Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi
dilema mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya.
Definisi
Dalam kamus ilmiah populer, kata “Miskin”
mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau
bokek. Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara
Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah
konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat
dari interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang
diperoleh.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah
keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi
dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan
komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali
Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan
lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan.
Senada dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh
ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan
masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka
berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini
lebih dikenal dengan kemiskinan struktural.
Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan
yang mulai bergeser misal pada awal tahun 1990-an definisi kemiskinan tidak
hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di
bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an telah
muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan,
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial
ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi
juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris
mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal
dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan
upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya
tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya,
seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga
dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi
tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi
daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan.
Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain.
Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari
jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga
pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural.
Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada
di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum:
pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di
bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat
dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang
membantunya.
Indikator-indikator
Kemiskinan
Untuk menuju solusi kemiskinan penting
bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-indikator kemiskinan
tersebut.
Adapun indikator-indikator kemiskinan
sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan
dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya
(kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun
massa.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya
alam.
6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar,
wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan
terpencil).
Penyebab Kemiskinan
Di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan
menurut pendapat Karimah Kuraiyyim. Yang antara lain adalah:
Merosotnya
standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan
per-kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem.
Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan
naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan
per-kapita akan turun beriringan.
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi
kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
·
Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
·
Politik ekonomi yang tidak sehat.
·
Faktor-faktor luar neger, diantaranya:
1. Rusaknya syarat-syarat
perdagangan
2. Beban hutang
3. Kurangnya bantuan luar
negeri, dan
4. Perang
·
Menurunnya etos kerja dan produktivitas
masyarakat. Terlihat jelas faktor ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap
kemiskinan. Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas
masyarakat harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan
kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan maksimal
·
Biaya kehidupan yang tinggi. Melonjak tingginya biaya
kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan
pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis
dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga
kerja ahli, lemahnya peranan wanita di depan publik dan banyaknya pengangguran.
·
Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang
merata. Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan
keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber
pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak
negara.
Perkembangan Tingkat
Kemiskinan di Indonesia
Bagaimana perkembangan tingkat kemiskinan
di Indonesia? Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan
laporan tahunan Pembangunan manusia (Human Development Report) 2006 yang
bertajuk Beyord scarcity; power, poverty dan the global water. Laporan ini
menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu Indikator
kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama
satu dekade ini Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat
ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk
miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan
menurun pada salah satu periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk
miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi
47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002,
penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi
38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005)
yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan
presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006
penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%)
berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).
Adapun laporan terakhir, Badan Pusat
Statistika ( BPS ) yang telah melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) pada bulan Maret 2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah
39,1 juta orang dengan kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau
garis kemiskinan ketika pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
Penjelasan
Teknis dan Sumber Data
Sebagai tinjauan kevalidan dan pemahaman
data di atas secara lugas, dipaparkan penjelasan data dan sumber data yang
diambil dari Berita Resmi Statistika No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach).
Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Head Count Indeks
(HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
b. Metode yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri
dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan
Bukan Makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah
untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pendapatan per-kapita di bawah garis kemiskinan.
c. Sumber utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah
data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret
2006. Sebagai informasi tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan
Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari Pengeluaran
masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
Tantangan
Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan di Indonesia sarat
sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat Sumber Daya Manusia (SDM).
dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya
akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks
Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692. yang
masih menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara
negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada
tahun yang sama sebesar 0,178. masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand.
Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding
negara ASEAN lainnya.
Tantangan lainnya adalah kesenjangan
antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi
dibanding perkotaan. Data Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004
menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin
yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Selain itu juga tantangan yang
sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang
ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak
kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan
gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan
Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).
Tantangan selanjutnya adalah otonomi
daerah. di mana hal ini mempunyai peran yang sangat signifikan untuk
mengentaskan atau menjerumuskan masyarakat dari kemiskinan. Sebab ketika
meningkatnya peran keikutsertaan pemerintah daerah dalam penanggulangan
kemiskinan. maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang relatif singkat kita
akan bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan pada skala nasional terutama
dalam mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat. Akan tetapi ketika
pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini
sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta
bisa menimbulkan bahaya laten dalam skala Nasional.
Kebijakan dan
Program Penuntasan Kemiskinan
Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia
telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas
utama kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan
bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan
tahunan.
Sebagai wujud gerakan bersama dalam
mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi
Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses
partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia.
Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite
penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di
daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.
Adapun langkah jangka
pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi kesenjangan
antar daerah dengan;
·
penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama
daerah-daerah langka sumber air bersih.
·
pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal.
·
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan
rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan
dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan
investasi dan revitalisasi industri.
c) Khusus untuk pemenuhan
sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain (i) pendidikan
gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid
yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin
di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Di bawah ini merupakan contoh dari upaya
mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Contoh dari upaya kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di
Bandung dengan diadakannya Bandung
Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 – 25 Februari 1998. Bandung
Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya
menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang yang berada di bawah
garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada
wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama,
kepercayaan, ataupun haluan politik.
Oleh karena sumbangan dari para dermawan
tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan permasalahan kelaparan dan
kemiskinan yang dihadapi, maka Bandung Peduli melakukan targetting dengan
sasaran bahwa orang yang dibantu tinggal di Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan
mereka yang tergolong fakir. Golongan fakir yang dimaksud adalah orang yang
miskin sekali dan paling miskin bila diukur dengan “Ekuivalen Nilai Tukar
Beras”.
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan
masalah yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masalah dasar pengentasan kemiskinan
bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu
hal yang alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak.
Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah,
melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas
dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja
sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini
masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan
akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
Saran
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman
global diperlukan usaha-usaha yang lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif.
Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi
zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam
pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah
standar global.
REFERENSI
www.pu.go.id/publik/p2kp/des/memahami99.html
www.geocities.com/rainforest/canopy/8087/miskin.html
KELAS : 1 EB 11
NPM :
22210218
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Kemiskinan merupakan problematika kemanusiaan yang telah mendunia dan
hingga kini masih menjadi isu sentral di belahan bumi manapun. Selain bersifat
laten dan aktual, kemiskinan adalah penyakit sosial ekonomi yang tidak hanya
dialami oleh Negara-negara berkembang melainkan negara maju sepeti inggris dan
Amerika Serikat. Negara inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun
1700-an pada era kebangkitan revolusi industri di Eropa. Sedangkan Amerika Serikat
bahkan mengalami depresi dan resesi ekonomi pada tahun 1930-an dan baru setelah
tiga puluh tahun kemudian Amerika Serikat tercatat sebagai Negara Adidaya dan
terkaya di dunia.
Pada kesempatan ini penyusun mencoba memaparkan secara global kemiskinan Negara-negara
di dunia ketiga, yaitu Negara-negara berkembang yang nota-benenya ada di
belahan benua Asia. Kemudian juga pemaparan secara spesifik mengenai kemiskinan
di Negara Indonesia. Adapun yang dimaksudkan Negara berkembang adalah Negara
yang memiliki standar pendapatan rendah dengan infrastruktur yang relatif
terbelakang dan minimnya indeks perkembangan manusia dengan norma secara
global. Dalam hal ini kemiskinan tersebut meliputi sebagian Negara-negara
Timur-Tengah, Asia selatan, Asia tenggara dan Negara-negara pinggiran benua
Asia.
Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yaitu kemiskinan
alami dan kemiskinan buatan. kemiskinan alami terjadi akibat sumber daya alam
(SDA) yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam.
Kemiskinan Buatan diakibatkan oleh imbas dari para birokrat kurang berkompeten
dalam penguasaan ekonomi dan berbagai fasilitas yang tersedia, sehingga
mengakibatkan susahnya untuk keluar dari kemelut kemiskinan tersebut.
Dampaknya, para ekonom selalu gencar mengkritik kebijakan pembangunan yang
mengedepankan pertumbuhan ketimbang dari pemerataan.
II
ISI
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh
negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti
Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung
tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropa. Pada
masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang
sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya
belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan
terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas,
pengangguran. Berikut sedikit penjelasan mengenai kemiskinan yang sudah menjadi
dilema mengglobal yang sangat sulit dicari cara pemecahan terbaiknya.
Definisi
Dalam kamus ilmiah populer, kata “Miskin”
mengandung arti tidak berharta (harta yang ada tidak mencukupi kebutuhan) atau
bokek. Adapun kata “fakir” diartikan sebagai orang yang sangat miskin. Secara
Etimologi makna yang terkandung yaitu bahwa kemiskinan sarat dengan masalah
konsumsi. Hal ini bermula sejak masa neo-klasik di mana kemiskinan hanya dilihat
dari interaksi negatif (ketidakseimbangan) antara pekerja dan upah yang
diperoleh.
Seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi, maka perkembangan arti definitif dari pada kemiskinan adalah sebuah
keniscayaan. Berawal dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi
dasar dan memperbaiki keadaan hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan
komponen-komponen sosial dan moral. Misal, pendapat yang diutarakan oleh Ali
Khomsan bahwa kemiskinan timbul oleh karena minimnya penyediaan
lapangan kerja di berbagai sektor, baik sektor industri maupun pembangunan.
Senada dengan pendapat di atas adalah bahwasanya kemiskinan ditimbulkan oleh
ketidakadilan faktor produksi, atau kemiskinan adalah ketidakberdayaan
masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintah sehingga mereka
berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Arti definitif ini
lebih dikenal dengan kemiskinan struktural.
Deskripsi lain, arti definitif kemiskinan
yang mulai bergeser misal pada awal tahun 1990-an definisi kemiskinan tidak
hanya berdasarkan tingkat pendapatan, tapi juga mencakup ketidakmampuan di
bidang kesehatan, pendidikan dan perumahan. Di penghujung abad 20-an telah
muncul arti definitif terbaru, yaitu bahwa kemiskinan juga mencakup kerentanan,
ketidakberdayaan dan ketidakmampuan untuk menyampaikan aspirasi.
Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial
ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi
juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris
mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi
industri yang muncul di Eropa. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal
dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebelumnya sebagai petani yang mendapatkan
upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya
tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya,
seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga
dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi
tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi
daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan.
Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain.
Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari
jumlah penduduknya tergolong miskin.
Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga
pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural.
Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada
di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum:
pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin
relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di
bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat
dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha
memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang
membantunya.
Indikator-indikator
Kemiskinan
Untuk menuju solusi kemiskinan penting
bagi kita untuk menelusuri secara detail indikator-indikator kemiskinan
tersebut.
Adapun indikator-indikator kemiskinan
sebagaimana di kutip dari Badan Pusat Statistika, antara lain sebagi berikut:
1. Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan
dan papan).
2. Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya
(kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
3. Tidak adanya jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk
pendidikan dan keluarga).
4. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun
massa.
5. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan terbatasnya sumber daya
alam.
6. Kurangnya apresiasi dalam kegiatan sosial masyarakat.
7. Tidak adanya akses dalam lapangan kerja dan mata pencaharian yang
berkesinambungan.
8. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental.
9. Ketidakmampuan dan ketidaktergantungan sosial (anak-anak terlantar,
wanita korban kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marginal dan
terpencil).
Penyebab Kemiskinan
Di bawah ini beberapa penyebab kemiskinan
menurut pendapat Karimah Kuraiyyim. Yang antara lain adalah:
Merosotnya
standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang penting digarisbawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan
per-kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem.
Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan
naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan
per-kapita akan turun beriringan.
Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi
kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
·
Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
·
Politik ekonomi yang tidak sehat.
·
Faktor-faktor luar neger, diantaranya:
1. Rusaknya syarat-syarat
perdagangan
2. Beban hutang
3. Kurangnya bantuan luar
negeri, dan
4. Perang
·
Menurunnya etos kerja dan produktivitas
masyarakat. Terlihat jelas faktor ini sangat urgen dalam pengaruhnya terhadap
kemiskinan. Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas
masyarakat harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan
kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggungjawabkan dengan maksimal
·
Biaya kehidupan yang tinggi. Melonjak tingginya biaya
kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan
pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis
dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga
kerja ahli, lemahnya peranan wanita di depan publik dan banyaknya pengangguran.
·
Pembagian subsidi in come pemerintah yang kurang
merata. Hal ini selain menyulitkan akan terpenuhinya kebutuhan pokok dan jaminan
keamanan untuk para warga miskin, juga secara tidak langsung mematikan sumber
pemasukan warga. Bahkan di sisi lain rakyat miskin masih terbebani oleh pajak
negara.
Perkembangan Tingkat
Kemiskinan di Indonesia
Bagaimana perkembangan tingkat kemiskinan
di Indonesia? Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) meluncurkan
laporan tahunan Pembangunan manusia (Human Development Report) 2006 yang
bertajuk Beyord scarcity; power, poverty dan the global water. Laporan ini
menjadi rujukan perencanaan pembangunan dan menjadi salah satu Indikator
kegagalan atau keberhasilan sebuah negara menyejahterakan rakyatnya. Selama
satu dekade ini Indonesia berada pada Tier Medium Human Development peringkat
ke 110, terburuk di Asia Tenggara setelah Kamboja.
Jumlah kemiskinan dan persentase penduduk
miskin selalu berfluktuasi dari tahun ke tahun, meskipun ada kecenderungan
menurun pada salah satu periode (2000-2005). Pada periode 1996-1999 penduduk
miskin meningkat sebesar 13,96 juta, yaitu dari 34,01 juta(17,47%) menjadi
47,97 juta (23,43%) pada tahun 1999. Kembali cerah ketika periode 1999-2002,
penduduk miskin menurun 9,57 juta yaitu dari 47,97 (23,43%) menurun menjadi
38,48 juta (18,20%). Keadaan ini terulang ketika periode berikutnya (2002-2005)
yaitu penurunan penduduk miskin hingga 35,10 juta pada tahun 2005 dengan
presentasi menurun dari 18,20% menjadi 15,97 %. Sedangkan pada tahun 2006
penduduk miskin bertambah dari 35,10 juta (15,97%) menjadi 39,05 juta (17,75%)
berarti penduduk miskin meningkat sebesar 3,95 juta (1,78%).
Adapun laporan terakhir, Badan Pusat
Statistika ( BPS ) yang telah melaksanakan Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) pada bulan Maret 2007 angka resmi jumlah masyarakat miskin adalah
39,1 juta orang dengan kisaran konsumsi kalori 2100 kilo kalori (kkal) atau
garis kemiskinan ketika pendapatan kurang dari Rp 152.847 per-kapita per bulan.
Penjelasan
Teknis dan Sumber Data
Sebagai tinjauan kevalidan dan pemahaman
data di atas secara lugas, dipaparkan penjelasan data dan sumber data yang
diambil dari Berita Resmi Statistika No.47/ IX/ 1 September 2006, yaitu sebagai
berikut:
a. Untuk mengukur kemiskinan, BPS
menggunakan konsep kemampuan memenuhi kebutuhan dasar (Basic Needs Approach).
Dengan pendekatan ini kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi
ekonomi. Untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan yang diukur
dari sisi pengeluaran. Dengan pendekatan ini dapat dihitung Head Count Indeks
(HCI) yaitu persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
b. Metode yang digunakan menghitung Garis Kemiskinan(GK) yang terdiri
dari dua komponen yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan
Bukan Makanan (GKBM). Perhitungan garis kemiskinan dilakukan secara terpisah
untuk daerah perkotaan dan pedesaan. Penduduk miskin adalah penduduk yang
memiliki rata-rata pendapatan per-kapita di bawah garis kemiskinan.
c. Sumber utama data yang dipakai untuk menghitung kemiskinan adalah
data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) panel Februari 2005 dan Maret
2006. Sebagai informasi tambahan,digunakan juga Survei Paket Komoditi Kebutuhan
Dasar (SPKKD) yang dipakai untuk memperkirakan Proporsi dari Pengeluaran
masing-masing komoditi pokok bukan makanan.
Tantangan
Kemiskinan di Indonesia
Masalah kemiskinan di Indonesia sarat
sekali hubungannya dengan rendahnya tingkat Sumber Daya Manusia (SDM).
dibuktikan oleh rendahnya mutu kehidupan masyarakat Indonesia meskipun kaya
akan Sumber Daya Alam (SDA). Sebagaimana yang ditunjukkan oleh rendahnya Indeks
Pembangunan Masyarakat (IPM) Indonesia pada tahun 2002 sebesar 0,692. yang
masih menempati peringkat lebih rendah dari Malaysia dan Thailand di antara
negara-negara ASEAN. Sementara, Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) Indonesia pada
tahun yang sama sebesar 0,178. masih lebih tinggi dari Filipina dan Thailand.
Selain itu, kesenjangan gender di Indonesia masih relatif lebih besar dibanding
negara ASEAN lainnya.
Tantangan lainnya adalah kesenjangan
antara desa dan kota. Proporsi penduduk miskin di pedesaan relatif lebih tinggi
dibanding perkotaan. Data Susenas (National Social Ekonomi Survey) 2004
menunjukkan bahwa sekitar 69,0 % penduduk Indonesia termasuk penduduk miskin
yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian. Selain itu juga tantangan yang
sangat memilukan adalah kemiskinan di alami oleh kaum perempuan yang
ditunjukkan oleh rendahnya kualitas hidup dan peranan wanita, terjadinya tindak
kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta masih rendahnya angka pembangunan
gender (Gender-related Development Indeks, GDI) dan angka Indeks pemberdayaan
Gender(Gender Empowerment Measurement,GEM).
Tantangan selanjutnya adalah otonomi
daerah. di mana hal ini mempunyai peran yang sangat signifikan untuk
mengentaskan atau menjerumuskan masyarakat dari kemiskinan. Sebab ketika
meningkatnya peran keikutsertaan pemerintah daerah dalam penanggulangan
kemiskinan. maka tidak mustahil dalam jangka waktu yang relatif singkat kita
akan bisa mengentaskan masyarakat dari kemiskinan pada skala nasional terutama
dalam mendekatkan pelayanan dasar bagi masyarakat. Akan tetapi ketika
pemerintah daerah kurang peka terhadap keadaan lingkungan sekitar, hal ini
sangat berpotensi sekali untuk membawa masyarakat ke jurang kemiskinan, serta
bisa menimbulkan bahaya laten dalam skala Nasional.
Kebijakan dan
Program Penuntasan Kemiskinan
Upaya penanggulangan kemiskinan Indonesia
telah dilakukan dan menempatkan penanggulangan kemiskinan sebagai prioritas
utama kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan kemiskinan merupakan prioritas
Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2004-2009 dan dijabarkan lebih rinci
dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) setiap tahun serta digunakan sebagai acuan
bagi kementrian, lembaga dan pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan
tahunan.
Sebagai wujud gerakan bersama dalam
mengatasi kemiskinan dan mencapai Tujuan pembangunan Milenium, Strategi
Nasional Pembangunan Kemiskinan (SPNK) telah disusun melalui proses
partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan di Indonesia.
Selain itu, sekitar 60 % pemerintah kabupaten/ kota telah membentuk Komite
penanggulangan Kemiskinan Daerah (KPKD) dan menyusun Strategi Penanggulangan
Kemiskinan Daerah (SPKD) sebagai dasar arus utama penanggulangan kemiskinan di
daerah dan mendorong gerakan sosial dalam mengatasi kemiskinan.
Adapun langkah jangka
pendek yang diprioritaskan antara lain sebagai berikut:
a) Mengurangi kesenjangan
antar daerah dengan;
·
penyediaan sarana-sarana irigasi, air bersih dan sanitasi dasar terutama
daerah-daerah langka sumber air bersih.
·
pembangunan jalan, jembatan, dan dermaga daerah-daerah tertinggal.
·
redistribusi sumber dana kepada daerah-daerah yang memiliki pendapatan
rendah dengan instrumen Dana Alokasi Khusus (DAK) .
b) Perluasan kesempatan kerja dan berusaha dilakukan melalui bantuan
dana stimulan untuk modal usaha, pelatihan keterampilan kerja dan meningkatkan
investasi dan revitalisasi industri.
c) Khusus untuk pemenuhan
sarana hak dasar penduduk miskin diberikan pelayanan antara lain (i) pendidikan
gratis sebagai penuntasan program belajar 9 tahun termasuk tunjangan bagi murid
yang kurang mampu (ii) jaminan pemeliharaan kesehatan gratis bagi penduduk miskin
di puskesmas dan rumah sakit kelas tiga.
Di bawah ini merupakan contoh dari upaya
mengatasi kemiskinan di Indonesia.
Contoh dari upaya kemiskinan adalah di propinsi Jawa Barat tepatnya di
Bandung dengan diadakannya Bandung
Peduli yang dibentuk pada tanggal 23 – 25 Februari 1998. Bandung
Peduli adalah gerakan kemanusiaan yang memfokuskan kegiatannya pada upaya
menolong orang kelaparan, dan mengentaskan orang-orang yang berada di bawah
garis kemiskinan. Dalam melakukan kegiatan, Bandung Peduli berpegang teguh pada
wawasan kemanusiaan, tanpa mengindahkan perbedaan suku, ras, agama,
kepercayaan, ataupun haluan politik.
Oleh karena sumbangan dari para dermawan
tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan permasalahan kelaparan dan
kemiskinan yang dihadapi, maka Bandung Peduli melakukan targetting dengan
sasaran bahwa orang yang dibantu tinggal di Kabupaten/ Kotamadya Bandung, dan
mereka yang tergolong fakir. Golongan fakir yang dimaksud adalah orang yang
miskin sekali dan paling miskin bila diukur dengan “Ekuivalen Nilai Tukar
Beras”.
III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan latar belakang, perumusan
masalah yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
Masalah dasar pengentasan kemiskinan
bermula dari sikap pemaknaan kita terhadap kemiskinan. Kemiskinan adalah suatu
hal yang alami dalam kehidupan. Dalam artian bahwa semakin meningkatnya
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maka kebutuhan pun akan semakin banyak.
Pengentasan masalah kemiskinan ini bukan hanya kewajiban dari pemerintah,
melainkan masyarakat pun harus menyadari bahwa penyakit sosial ini adalah tugas
dan tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. Ketika terjalin kerja
sama yang romantis baik dari pemerintah, nonpemerintah dan semua lini
masyarakat. Dengan digalakkannya hal ini, tidak perlu sampai 2030 kemiskinan
akan mencapai hasil yang seminimal mungkin.
Saran
Dalam menghadapi kemiskinan di zaman
global diperlukan usaha-usaha yang lebih kreatif, inovatif, dan eksploratif.
Selain itu, globalisasi membuka peluang untuk meningkatkan partisipasi
masyarakat Indonesia yang unggul untuk lebih eksploratif. Di dalam menghadapi
zaman globalisasi ke depan mau tidak mau dengan meningkatkan kualitas SDM dalam
pengetahuan, wawasan, skill, mentalitas, dan moralitas yang standarnya adalah
standar global.
REFERENSI
www.pu.go.id/publik/p2kp/des/memahami99.html
www.geocities.com/rainforest/canopy/8087/miskin.html